TINJAUAN TENTANG PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP KEKUATAN ALAT BUKTI (Studi Di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah
Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas
tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan
bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban,
keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa hukum
mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.
Hukum bisa dilihat
sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan
dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu hukum bekerja dengan cara
memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula hukum berupa norma
(Satjipto Rahardjo, 1982: 14). Hukum yang berupa norma dikenal dengan sebutan
norma hukum, dimana hukum mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat
bekerjanya hukum tersebut.
Bila pada uraian di
atas dikatakan bahwa konsekuensi dari dianutnya hukum sebagai ideologi oleh
suatu negara adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh
warga negara Indonesia, maka hukum juga wajib memberikan timbal balik terhadap
negara yang menerimanya sebagai ideologi, dengan cara memperhatikan kebutuhan
dan kepentingan-kepentingan anggota-anggota masyarakat serta memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
|
Dalam rangka memberikan
perhatian terhadap penciptaan keadilan dalam masyarakat serta memberikan
pelayanan terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat, hukum tidak selalu bisa
memberikan keputusannya dengan segera, hukum membutuhkan waktu untuk
menimbang-nimbang yang bisa memakan waktu lama sekali, guna mencapai keputusan
yang seadil-adilnya dan tidak merugikan masyarakat.
Indonesia sebagai
negara hukum memiliki beberapa macam hukum untuk mengatur tindakan warga
negaranya, antara lain adalah hukum pidana dan hukum acara pidana. Kedua hukum
ini memiliki hubungan yang sangat erat, karena pada hakekatnya hukum acara
pidana termasuk dalam pengertian hukum pidana. Hanya saja hukum acara pidana
atau yang juga dikenal dengan sebutan hukum pidana formal lebih tertuju pada
ketentuan yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya
untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Sedangkan hukum pidana (materiil) lebih
tertuju pada peraturan hukum yang menunjukan perbuatan mana yang seharusnya
dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak
pidana tersebut.
Walaupun hukum dibuat
untuk suatu tujuan yang mulia, yaitu memberikan pelayanan bagi masyarakat guna
terciptanya suatu ketertiban, keamanan, keadilan dan kesejahteraaan, namun pada
kenyataannya masih tetap terjadi penyimpangan-penyimpangan atas hukum, baik yang
dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja atau lalai. Terhadap
penyimpangan-penyimpangan hukum ini tentunya harus ditindaklanjuti dengan
tindakan hukum yang tegas dan melalui prosedur hukum yang benar sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sehingga
ideologi Indonesia
sebagai negara hukum benar-benar terwujud.
Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara
pidana adalah: “untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu
perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan
melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan
putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak
pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.
Melalui hukum acara pidana
ini, maka bagi setiap individu yang melakukan penyimpangan atau pelanggaran
hukum, khususnya hukum pidana, selanjutnya dapat diproses dalam suatu acara pemeriksaan di pengadilan, karena menurut hukum acara pidana untuk
membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di
depan sidang
pengadilan (Darwan Prinst,1998: 132). Dan untuk membuktikan benar tidaknya
terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu
pembuktian.
Dalam pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan
kepentingan korban, terdakwa dan masyarakat. Kepentingan korban berarti bahwa
seseorang yang mendapat derita karena suatu perbuatan jahat orang lain berhak
mendapatkan keadilan dan kepedulian dari negara, kepentingan masyarakat berarti
bahwa demi ketentraman masyarakat maka bagi setiap pelaku tindak pidana harus
mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan
terdakwa berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa,
sehingga tiap individu yang terbukti bersalah harus dihukum.
Pembuktian memegang peranan yang sangat
penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian
inilah nasib terdakwa ditentukan, dan hanya dengan pembuktian suatu perbuatan
pidana dapat dijatuhi hukuman pidana. Sehingga apabila hasil pembuktian dengan
alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman, dan
sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, maka terdakwa harus
dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan pidana.
Pembuktian juga
merupakan titik sentral hukum acara pidana. Hal ini dapat dibuktikan sejak awal
dimulainya tindakan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan
tambahan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, putusan hakim bahkan
sampai upaya hukum, masalah pembuktian merupakan pokok bahasan dan tinjauan
semua pihak dan pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan, terutama bagi hakim. Oleh karena itu hakim harus hati-hati,
cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian serta
dapat meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijskracht
dari setiap alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana tidak memberikan
penafsiran atau pengertian mengenai pembuktian baik pada Pasal 1 yang terdiri
dari 32 butir pengertian, maupun pada penjelasan umum dan penjelasan Pasal demi
Pasal. KUHAP hanya memuat macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum acara
pidana di Indonesia.
Pembuktian adalah
ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan
undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang
dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan
yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2003: 273).
Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, jenis
alat bukti yang sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti adalah :
1.
Keterangan saksi;
2.
Keterangan ahli;
3.
Surat ;
4.
Petunjuk;
5.
Keterangan terdakwa.
Maksud penyebutan alat-alat bukti dengan
urutan pertama pada keterangan saksi, selanjutnya keterangan ahli, surat , petunjuk dan
keterangan terdakwa pada urutan terakhir, menunjukkan bahwa pembuktian (bewijsvoering)
dalam hukum acara pidana diutamakan pada kesaksian. Namun perihal nilai
alat-alat bukti yang disebut oleh pasal 184 KUHAP tetap mempunyai kekuatan
bukti (bewijskracht) yang sama penting dalam menentukan bersalah atau
tidaknya terdakwa.
Dengan kata lain, walaupun pembuktian
dalam hukum
acara pidana diutamakan pada kesaksian, namun hakim tetap harus hati-hati, dan
cermat dalam menilai alat-alat bukti lainnya. Karena pada prinsipnya semua alat
bukti penting dan berguna dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Penulis dalam penulisan hukum ini tidak
akan membahas lebih jauh mengenai alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli,
surat dan
petunjuk karena keempat alat bukti tersebut secara umum sudah lebih dikenal
oleh pihak dan pejabat yang
bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dan tidak banyak menimbulkan
permasalahan dalam penerapannya dalam persidangan. Lain halnya dengan alat
bukti keterangan terdakwa yang kadang kala masih sering menimbulkan
permasalahan, baik mengenai eksistensinya sebagai alat bukti yang sah, masalah
kekuatan nilai pembuktian dan penerapannya di persidangan, maupun kedudukannya
sebagai alat bukti terakhir di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Bila melihat urutan
jenis alat bukti pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, maka keterangan terdakwa
merupakan alat bukti yang terakhir setelah
petunjuk. Akan tetapi karena suatu petunjuk dapat diperoleh dari
keterangan terdakwa, maka dalam hal yang demikian petunjuk hanya bisa diperoleh
setelah lebih dahulu memeriksa terdakwa, sehingga petunjuklah yang seharusnya
menduduki posisi terakhir sebagai alat bukti. Terlepas dari permasalahan di
atas, pada kenyataannya keterangan terdakwa masih belum memiliki peraturan yang
jelas dalam penerapannya, yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi nilai
kekuatannya sebagai alat bukti yang sah, sehingga akan berpengaruh juga
terhadap putusan pengadilan.
Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP,
Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.
Mengingat bahwa keterangan terdakwa yang memuat informasi tentang kejadian
peristiwa pidana bersumber dari terdakwa, maka hakim dalam melakukan penilaian
terhadap isi keterangan terdakwa haruslah cermat dan sadar bahwa ada
kemungkinan terjadinya kebohongan atau keterangan palsu yang dibuat oleh
terdakwa mengenai hal ikhwal kejadian atau peristiwa pidana yang terjadi.
Dalam persidangan
sering dijumpai bahwa terdakwa mencabut keterangan yang diberikannya di luar
persidangan atau keterangan yang diberikannya kepada penyidik dalam pemeriksaan
penyidikan yang dimuat dalam Berita Acara Penyidikan (BAP). Dimana keterangan
tersebut pada umumnya berisi pengakuan terdakwa atas tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.
Menurut Martiman
Prodjohamidjojo (1984: 137), terhadap keterangan di muka penyidik dan
keterangan dalam persidangan harus dibedakan, keterangan yang diberikan di muka
penyidik disebut keterangan tersangka, sedangkan keterangan yang diberikan
dalam persidangan disebut keterangan terdakwa. Dengan adanya perbedaan ini,
penulis menilai akan memperjelas dari kedudukan masing-masing keterangan dalam
pembuktian.
Seperti yang telah
diuraikan diatas, bahwa dalam persidangan terdakwa kerap mencabut kembali
keterangan pengakuan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan di sidang
pengadilan. Suatu hal yang ironi memang bila melihat bahwa setiap tersangka
pasti memberikan keterangan pengakuan di depan penyidik sedemikian rupa
jelasnya mengutarakan dan menggambarkan jalannya perbuatan tindak pidana yang
disangkakan. Akan tetapi bagaimanapun gamblangnya pengakuan yang tercatat dalam
Berita Acara Penyidikan (BAP), akan selalu dicabut kembali dalam pemeriksaan
pengadilan. Hampir seluruh terdakwa, mencabut kembali keterangan pengakuan yang
tercatat dalam BAP, hanya satu dua yang tetap bersedia mengakui kebenarannya.
Adapun alasan yang
kerap dijadikan dasar pencabutan adalah bahwa pada saat memberikan keterangan
di hadapan penyidik, terdakwa dipaksa atau diancam dengan kekerasan baik fisik
maupun psikis untuk mengakui tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Sedemikian rupa penyiksaan dan ancaman berupa pemukulan, penyulutan bagian
badan atau bagian vital tubuh. Kepala dibenturkan di dinding, dan segala macam
penganiayaan yang keji, membuat tersangka terpaksa mengakui segala pertanyaan
yang didiktekan pejabat pemeriksa. Begitulah selalu alasan yang yang melandasi
setiap pencabutan keterangan pengakuan yang dijumpai di sidang pengadilan.
Ditinjau dari segi
yuridis, pencabutan ini sebenarnya dibolehkan dengan syarat pencabutan
dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan disertai
alasan yang mendasar dan logis (M. Yahya Harahap, 2003: 326). Sepintas terkesan
bahwa syarat pencabutan tersebut mudah dipahami dan mudah untuk dilakukan
sehingga diperkirakan penerapannya pun akan lancar tanpa permasalahan. Akan
tetapi, pada kenyataannya tidaklah demikian karena ternyata dalam praktek di
persidangan pencabutan begitu banyak menimbulkan permasalahan. Terutama
mengenai penilaian hakim terhadap alasan pencabutan keterangan terdakwa, dimana
dalam praktek di persidangan hakim tidaklah mudah menerima alasan pencabutan
keterangan terdakwa.
Permasalahan lain
terkait dengan pencabutan keterangan terdakwa adalah mengenai eksistensi
keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang, dalam hal digunakan untuk
membantu menemukan alat bukti dalam persidangan sebagaimana ketentuan Pasal 189
ayat (2) KUHAP (Darwan Prinst, 1998: 145). Sebab sesuatu hal yang fungsi dan
nilainya digunakan untuk membantu mempertegas alat bukti yang sah, maka
kedudukannya pun telah berubah menjadi alat bukti, termasuk pengakuan terdakwa
pada tingkat penyidikan (M. Yahya Harahap, 2003: 323).
Masalah pencabutan
keterangan terdakwa ini juga akan membawa permasalahan lain, yaitu persoalan berkaitan dengan implikasi
pencabutan tersebut terhadap kekuatan alat bukti, serta pengaruhnya terhadap
alat bukti lain yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan hal inilah, maka
penulis merasa perlu untuk mengadakan penelitian sebagai bahan penulisan hukum
yang mempunyai judul:
"Tinjauan Tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan Dan
Implikasi Yuridisnya Terhadap Kekuatan Alat Bukti” (Studi Di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta).
B. Perumusan Masalah
Agar permasalahan yang hendak diteliti tidak mengalami perluasan konteks
dan supaya penelitian yang dilaksanakan lebih mendalam maka diperlukan suatu
pembatasan masalah. Dan untuk memudahkan dalam penyusunan dan pencarian data
guna menghasilkan sebuah penelitian yang baik dan menghindari pengumpulan data
yang tidak diperlukan dalam penulisan, maka perlu disusun perumusan masalah
secara teratur dan sistematis yang merupakan pembatasan masalah yang akan dibahas.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis merumuskan masalah dalam
penelitian sebagai berikut:
1.
Apakah terdakwa diperkenankan untuk mencabut keterangannya dalam
persidangan?
2.
Bagaimana implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap
kekuatannya sebagai alat bukti?
C. Tujuan Penelitian
Suatu kegiatan
penelitian harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai secara jelas. Tujuan
penelitian dapat bersifat untuk pengembangan ilmu dalam arti explanation, developmental, atau
verifikasi ilmu, atau untuk membantu memecahkan masalah tertentu. Tujuan
penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian.
Adapun tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Objektif
a.
Mendeskripsikan
apakah terdakwa diperkenankan untuk mencabut keterangannya dalam persidangan.
b.
Mendeskripsikan
bagaimana implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap
kekuatannya sebagai alat bukti.
2. Tujuan Subjektif
a.
Meningkatkan
kualitas pengetahuan penulis tentang penggunaan alat-alat bukti dalam
pembuktian kesalahan terdakwa di pengadilan.
b.
Memperoleh
data yang cukup dan relevan yang diperlukan dalam penulisan hukum sebagai
syarat mencapai gelar sarjana di bidang ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang
dapat diambil penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a.
Memberikan
sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan
dengan masalah hukum pembuktian pidana serta dapat menambah bahan-bahan
kepustakaan.
b. Untuk mendalami dan mempraktekan teori-teori yang
telah diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
2. Manfaat Praktis
a.
Mengembangkan
penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk mengetahui kemampuan
peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Mencari kesesuaian antara teori yang telah
didapatkan di bangku kuliah dengan kenyataan di lapangan.
c.
Hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan
masalah penelitian ini.
download contoh skripsi HUKUM PIDANA
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar