PENGARUH DOMINASI KEKUASAAN TERHADAP RESISTENSI MASYARAKAT (Studi Konflik Peremajaan Pasar Senapelan di Kota Pekanbaru, Riau)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konflik
adalah gejala kemasyarakatan yang akan senantiasa melekat dalam kehidupan
setiap masyarakat, dan karena itu tidak mungkin dilenyapkan (Nasikun, 2003).
Sebagai gejala kemasyarakatan yang melekat di dalam kehid upan setiap masyarakat,
ia hanya akan lenyap bersama lenyapnya masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu,
konflik yang terjadi hanya dapat dikendalikan agar tidak terwujud dalam bentuk
kekerasan atau violence (Nasikun, 2003).
Konflik
sosial biasanya terjadi karena adanya satu pihak atau kelompok yang merasa
kepentingan atau haknya dirampas dan diambil oleh pihak atau kelompok lain dengan
cara- cara yang tidak adil. Yang oleh Karl Marx di kenal dengan surplus
value (Susetiawan, 2000 dan Johnson, 1986). Dan konflik ini dapat terjadi
secara horizontal maupun vertikal (Nasikun, 2003).
Konflik
horizontal terjadi antara kelompok- kelompok yang ada dalam masyarakat, yang
dibedakan oleh agama, suku, bangsa, dan lain- lain. Sedangkan konflik vertikal
biasanya terjadi antara suatu kelompok tertentu dalam masyarakat atau lapisan
bawah dengan lapisan atas atau penguasa (Scott, 2000 dan Sangaji, 2000).
Kasus-
kasus penggusuran tempat tinggal dan tempat usaha kaum miskin yang makin marak
terjadi belakangan ini di berbagai kota di Indonesia
merupakan fenomena sosial yang menimbulkan konflik vertikal. Seperti
penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) dan pemukiman masyarakat miskin yang
terjadi di wilayah Jakarta (Kompas, 11 Oktober, 13, 20- 22 Desember 2003), dan
juga kasus pe nggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) serta masyarakat yang tinggal
di bantaran sungai Yogyakarta (Kompas, 14 Mei 2004). Dalam penggusuran tersebut
melekat makna pemaksaan dan kekerasan oleh kolaborasi penguasa yang secara
politik maupun ekonomi kuat. Hampir tidak ada dialog dan penyelesaian masalah
secara damai, win- win solution dalam penggusuran. Yang ada hanyalah
raungan mesin kekuasaan dan jerit tangis si tergusur.
Konflik
vertikal antara pemerintah dan masyarakat juga terjadi di kota Pekanbaru. Konflik ini terjadi antara
pedagang tradisional pasar Kodim atau Senapelan di kota
Pekanbaru, propinsi Riau dengan Pemerintah kota Pekanbaru dan pengusaha. Hal ini
disebabkan oleh rencana peremajaan pasar Senapelan yang dilakukan oleh Pemerintah
Kota Pekanbaru disertai dengan aksi pembongkaran paksa ratusan kios lama di
pasar tersebut. Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Pekanbaru dalam rangka
peremajaan pasar Senapelan tersebut telah melahirkan sikap penentangan pedagang
pasar Senapelan. Kebijakan yang telah direncanakan sejak empat tahun itu, sekitar
tahun 2001 yang lalu, berimplikasi pada terjadinya konflik vertikal (Media Indonesia,
17 Mei 2004).
Tuntutan
sekitar 2000 pedagang pasar Senapelan sebenarnya cukup masuk akal, mereka
meminta agar harga kios baru pascaperemajaan sesuai dengan kecukupan ekonomi
yang dimiliki para pedagang. Pedagang tidak menolak pasar yang berada di Jalan
Ahmad Yani Pekanbaru tersebut diremajakan karena dapat memoles wajah kusam kota Pekanbaru yang sedang
berbenah diri (Media Indonesia, 09 Juni 2004).
Persoalannya,
Pemerintah Kota (Pemkot) Pekanbaru dengan pihak investor P.T. Peputra Maha Jaya
(PMJ) telah menyepakati harga kios baru pascaperemajaan tanpa persetujuan para
pedagang pasar Senapelan. Harga kios seluas 3x3 di blok A atau lantai dasar,
mencapai harga Rp. 20 juta per meter2. Sementara blok B dengan luas kios sama,
harga ditetapkan Rp. 14, 3 juta per meter2. Blok ini berada di lantai dua dan
tiga, sementara blok C berada di lantai empat dan lima dipatok dengan harga yang sama dengan
blok B (Media Indonesia, 09 Juni 2004). Lain halnya dengan Pemkot, pedagang
pasar Senapelan hanya sanggup membayar kios dengan harga tujuh (7) juta rupiah
sampai dengan delapan (8) juta rupiah untuk blok B, dan tiga setengah (3,5)
juta rupiah sampai dengan lima
(5) juta rupiah untuk blok C.
Selain
permasalahan harga kios yang tinggi, konflik ini juga dipicu oleh kebijakan
Pemkot yang tidak transparan dalam penempatan pedagang Senapelan di lokasi yang
baru. Kebijakan tersebut dibuat oleh Pemkot begitu saja tanpa terlebih dahulu
bermusyawarah dengan pedagang. Pedagang eks pasar Senapelan akan ditempatkan di
blok B dan C, sedangkan blok A ditempati oleh pengusaha dari Jakarta dan Singapura. Lokasi blok B dan C
berada di belakang blok A, sangat tidak strategis bagi pedagang untuk melakukan
transaksi jual beli, dan akan semakin merugikan pedagang lagi jika sistem satu
pintu benar- benar akan diterapkan dalam pembangunan pasar tersebut.
Harga
kios tersebut mulai dipersoalkan oleh para pedagang pasar tradisional Senapelan.
Melalui rapat yang mereka lakukan, sekitar 2000 pedagang yang terhimpun dalam
Forum Komunikasi Pedagang Pasar Senapelan (FKPPS) menyepakati harga kios baru
pascaperemajaan adalah Rp. 8 juta per meter 2 dan dilunasi dengan cara mencicil
kepada investor (Media Indonesia, 09 Juni 2004). Kesepakatan harga yang dibuat
oleh pedagang ini kemudian menjadikan Pemerintah Kota Pekanbaru dan investor
menunda sementara peremajaan pasar Senapelan sampai terjadi kesepakatan harga
kios antara pedagang dan Pemkot.
Tanggal
25 Januari 2003, terjadi kesepakatan antara Pemerintah Kota Pekanbaru yang
ditandatangani oleh Wali Kota Pekanbaru, ketua DPRD Pekanbaru, Direktur P.T. Peputra
Maha Jaya, dan perwakilan salah seorang pedagang pasar Senapelan. Kesepakatan
tersebut menyatakan bahwa segala bentuk aktivitas pembangunan pasar Senapelan
akan dihentikan hingga kesepakatan harga kios tercapai, dan bagi pihakpihak yang
melanggar kesepakatan yang telah dibuat tersebut akan dituntut sesuai dengan
hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia .
Kesepakatan
yang telah dibuat tersebut awalnya dapat dijalankan dengan baik, tetapi
memasuki tahun 2004, kesepakatan tersebut mulai goyah dan berakhir dengan aksi
penggusuran pedagang pasar Senapelan dari kios mereka yang lama, tanggal 15 dan
18 April 2004. Aksi penggusuran tersebut diwarnai dengan bentrokan antara
aparat Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja dengan pedagang pasar Senapelan yang
didukung oleh sejumlah aktivis mahasiswa dan LSM. Bentrok tersebut berakhir
dengan kekalahan di pihak pedagang dan penangkapan sejumlah pedagang dan
aktivis yang turut serta memperjuangkan nasib pedagang.
Tindakan
pembongkaran kios yang pertama, aparat berhasil mengamankan sejumah pedagang
karena dianggap menghalangi upaya pembongkaran kios. Tindakan pembongkaran ini
sempat terhenti karena ratusan pedagang yang kebanyakan adalah ibu- ibu
menghalangi masuknya buldozer. Tindakan pembongkaran itu kemudian dilanjutkan
pada tanggal 18 April 2004, kali ini Pemkot berhasil meratakan seluruh bangunan
kios. Dalam tindakan pembongkaran ini, aparat kembali menahan sejumlah orang,
terdiri dari aktivis dan pedagang, karena dituduh memprovokasi massa (Bintan post, 19
April 2004 dan Media Indonesia, 17 Mei 2004).
Pada
akhirnya, para pedagangpun terpaksa harus pindah ke TPS (Tempat Penampungan
Sementara) yang telah disediakan sebelumnya oleh Pemkot, dengan ukuran 3x2 m2
di jalan Teratai Pekanbaru. Tempat Penampungan Sementara tersebut disediakan
sebanyak empat blok dengan berbagai fasilitas umum yang disediakan gratis bagi
pedagang. Akan tetapi kenyataannya, sejumlah TPS ternyata harus diperoleh pedagang
dengan cara membeli atau menyewa kembali kepada pedagang lain, sehingga menimbulkan
rasa kekecewaan yang mendalam dari pedagang terhada p kebijakan Pemkot.
Kenyataan ini diperparah lagi dengan kondisi TPS yang dijanjikan tidak sesuai dengan
harapan yang dijanjikan Pemkot kepada pedagang Senapelan, kios yang tidak layak
pakai dan tidak mencukupi untuk menampung seluruh pedagang korban penggusuran.
Dengan
terjadinya tindakan pembongkaran kios itu, bukan berarti aksi penentangan yang
dilakukan oleh pedagang pasar Senapelan juga berakhir, malahan semakin gencar.
Mulai tanggal 19 April 2004 sampai dengan akhir Juni 2004, para pedagang dengan
dibantu oleh beberapa elemen masyarakat melakukan aksi protes terhadap
Pemerintah Kota Pekanbaru. Aksi tersebut dilakukan dengan berbagai cara, mulai
dari aksi turun ke jalan, mendirikan tenda darurat, penahanan, sampai pada aksi
membakar salah satu poster capres tertentu sebagai bentuk kekecawaan terhadap
kader dari parpol capres tersebut, yang menjadi ketua DPRD Pekanbaru (Tempo, 10
Juni 2004).
Ratusan
pedagang pasar Senapelan melakukan aksi memprotes kebijakan Pemkot yang tetap
melanjutkan pembangunan pasar Senapelan tersebut. Mereka yang terdiri dari
pedagang pasar, mahasiswa, dan LSM berkeinginan untuk bertemu dengan Wali Kota
Pekanbaru dan menuntut agar menghentikan sementara pembangunan pasar tersebut
sampai adanya kesepakatan harga antara pedagang dengan investor penyelenggara
pembangunan tersebut. Akan tetapi, aksi ini harus berakhir dengan kekecewaan
dan di lampiaskan dengan mendirikan tenda darurat di depan kantor Wali Kota
Pekanbaru (Bintan Post, 19 April 2004).
Aksi
memprotes kebijakan Pemkot yang dilakukan oleh pedagang Senapelan tidak hanya
dilakukan di kantor Walikota Pekanbaru, aksi ini juga dilakukan di gedung DPRD
Pekanbaru (Media Indonesia, 09 Juni 2004). Aksi protes ke gedung DPRD Pekanbaru
bertujuan untuk menuntut DPRD agar bersedia menjadi mediator mempertemukan
pedagang dengan investor dan Wali Kota Pekanbaru. Tetapi tindakan ini kembali
gagal mendapatkan hasil, karena DPRD hanya berjanji untuk merealisasikan saja,
akan tetapi janji tersebut tidak pernah terwujud. Tidak adanya pertemuan yang terjadi
antara pedagang Senapelan, investor, dan Wali Kota, menjadikan pedagang semakin
frustasi dan kecewa, bahkan para pedagang sempat menyandera ketua DPRD Pekanbaru
selama beberapa jam, untuk kemudian dilepaskan kembali (Media Indonesia, 09
Juni 2004).
Bentuk
solidaritas antar sesama kaum tertindas dilakukan oleh pedagang. Para pedagang pasar Senapelan menuntut beberapa orang
teman mereka yang ditahan dalam aksi protes yang terjadi beberapa waktu lalu
supaya dibebaskan. Pedagang meminta pihak kepolisian untuk membebaskan mereka
dari tahanan karena mereka harus mancari nafkah (Kompas, 07 Juni 2004). Selain
itu mereka juga meminta polisi agar mengusut tuntas dan menghukum oknum Satuan
Polisi Pamong Praja yang melakukan tindak kekerasan di saat aksi protes
pedagang berlangsung (Kompas, 07 Juni 2004).
1.2. Rumusan Masalah
Aksi
penentangan demi penentangan terus dilakukan oleh pedagang terhadap kebijakan
Pemkot, walaupun para pedagang sadar, bahwa tuntutan mereka akan sulit untuk
terpenuhi, bahkan di saat pondasi pembangunan pasar Senapelan tersebut mulai dilakukan
awal bulan Juli 2004 lalu. Kebijakan seperti ini, bukan hanya sekali terjadi di
Pekanbaru, beberapa waktu lalu, Pemkot juga mangeluarkan kebijakan peremajaan pasar
Pusat atau Suka Ramai yang berdekatan dengan pasar Senapelan. Kebijakan ini juga
menuai protes dari pedagang pasar Suka Ramai dikarenakan harga kios yang terlalu
mahal bagi pedagang. Selain itu, Pemkot juga menggandeng investor yang sama dengan
investor yang membangun pasar Senapelan, yaitu P.T. PMJ, dengan konsep bangunan
yang sama. Dan konflik ini juga tidak dapat terselesaikan dengan baik.
Kebijakan
pemerintah yang kembali merealisasikan program peremajaan pasar tradisional
(dengan menggandeng investor yang sama), dan kebijakan yang kembali mendapat
tantangan dari para pedagang pasar tradisonal (pedagang pasar Senapelan), walaupun
upaya penentangan itu tidak berhasil seperti halnya upaya penyelesaian konflik
yang juga tidak berhasil, merupakan permasalahan- permasalahan yang menarik
untuk diangkat sebagai fokus penelitian. Penelitian ini berusaha mengungkapkan:
1. Bagaimana bentuk- bentuk dominasi
kekuasaan yang terjadi?
2. Bagaimana bentuk- bentuk
perlawanan pedagang?
3. Bagaiamana resolusi konflik yang
diupayakan dalam konflik itu?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk dapat
menggambarkan tentang:
1. Bentuk- bentuk dominasi yang
dilakukan oleh kekuasaan terhadap kaum tertindas.
2. Bentuk- bentuk perlawanan yang
dilakukan oleh para pedagang terhadap dominasi kekuasaan.
3. Resolusi yang diupayakan atau
berlaku dalam konflik tersebut.
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di
atas, maka manfaat penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui bentuk- bentuk
dominasi kekuasaan
2. Mengetahui bentuk- bentuk
perlawanan yang dilakukan oleh para pedagang
3. Mengetahui resolusi yang
diupayakan atau berlaku dalam konflik tersebut.
download contoh skripsi SOSIOLOGI