Tempat berbagi ilmu, informasi dan hiburan...

INKULTURASI MUSIK LITURGI DI INDONESIA PASCA KONSILI VATIKAN II


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Gereja Kristen dimulai sebagai suatu sekte Yahudi.[1] Tarian dan nyanyian pujian seperti Mazmur-mazmur merupakan salah satu bagian dari ibadat Yahudi yang dikenal semua orang yang terbiasa mengunjungi Bait Allah di Yerussalem pada abad pertama saat sekte Kristen mulai berkembang.[2]
Musik gereja mengalami sejarah perkembangan yang panjang. Sampai dengan abad kesepuluh musik gereja sama dengan musik Gregorian,[3] yang diteruskan secara lisan dan improvisasi. Karena belum ada notasi musik, maka lagu Gregorian berkembang tidak sama pada daerah yang berbeda. Musik dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu dijaga keseragamannya, tetapi sebagai unsur fungsional yang disesuaikan dengan keperluan umat yang hadir dalam ibadat. 
Dengan berkembangnya musik polifon sejak abad ke-11, terciptalah aneka bentuk musik baru yang khusus untuk paduan suara, sehingga disamping musik liturgi, lahir lagu selingan yang dapat dipakai dalam liturgi. Musik  profan yang bermutu dipisahkan  dari musik keagamaan baru sejak abad ke-17. Pius X[4] dalam Motu Proprio-nya Tra Le Sollectudine tahun 1903 membedakan antara Musik Gereja dan Musik Sacra. Yang terakhir disamakan dengan musik Gregorian sebagai gaya ideal dan suci. Menurut pola inilah segala musik dalam gereja hendaknya diperbaharui.
Tidak ada musik yang dapat disebut musik ibadat Kristiani. Lagu Gregorian adalah  warisan lagu kebudayaan Yunani, himne-himne St. Ambrosius adalah pengolahan lagu profan abad ke-4 dari Eropa Tenggara. Begitu pula lagu gereja Abad Pertengahan merupakan pengolahan kebudayaan (= lagu bermutu) dari abad ke-14 sampai dengan abad ke-18. Jadi yang selama ini dianggap sebagai khas gerejani seperti khidmad, tenang, suci sebenarnya adalah soal sikap orang yang beribadat, bukan soal jenis/bentuk/sifat musik. Namun sikap orang Kristen lain-lain menurut zaman dan tempat, maka musik liturgi juga berbeda-beda menurut zaman dan tempat.[5]
Dalam lingkup gereja Katolik, ibadat hampir sama dengan liturgi, yang sering disebut ibadat resmi gereja. Istilah ibadat gereja menitikberatkan pada aspek kultus lahiriah dari liturgi, yakni upacara dan ulah kebaktian lainnya, yang dilakukan oleh umat Allah sebagai Tubuh Mistik Yesus Kristus yang disusun secara hirarkis yakni secara resmi dan di hadapan umum umat yang meluhurkan Tuhan, bersyukur serta menyatakan bakti kepada-Nya.[6]
Dalam hidup sehari-hari orang Kristen tidak tampil sebagai anggota gereja namun, bila mereka berkumpul atas nama Kristus artinya sebagai umat Kristen mereka membentuk dan bertindak sebagai gereja, sebagai anggota Tubuh Kristus. Segala kegiatan profan (duniawi) seluruh kehidupan sehari-hari dibawa ke hadapan Tuhan, dimurnikan dan diperteguh dalam ibadat. Maka ibadat, khususnya ekaristi merupakan ungkapan iman yang paling jelas menjadi dasar dan puncak semua kegiatan Allah (bdk G 11 dan 26). Dalam arti luas, ibadat mencakup aneka ragam bentuk kebaktian bersama, misalnya ibadat sabda, ibadat tujuh sabda Yesus di Salib, pujian dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa ibadat merupakan suatu kesatuan, semua unsur yang berupa musik maupun bukan musik dikaitkan yang satu dengan yang lain. Maka musik ibadat Kristiani tidak dapat dipisahkan dari tempat orang berkumpul, dari gereja pembangunan (arsitektur), dari seni rupa, bahasa, gerak-gerik, musik dan tari.
Dalam Konsili Vatikan II (1963-1965), arti Musik Gereja direlativasi dengan berkata Musik Gereja kiranya makin suci makin erat hubungannya dengan upacara ibadat. Berkat musik, ungkapan doa dijadikan lebih mendalam, rasa sehati umat semakin dipupuk, dan upacara-upacara suci diperkaya dengan rasa khidmat yang lebih besar.[7]
Musik Gereja dapat dibedakan menjadi dua jenis:
1.      Musik Liturgi atau Musik Ibadat
Liturgi adalah puncak dan sumber hidup Kristiani.[8] Sedang musik liturgi merupakan suatu bagian fungsional dalam liturgi (L 112), karena bagian-bagian ibadat tertentu seyogyanya dilakukan dengan bernyanyi. Musik liturgi terutama mencakup nyanyian umat supaya berperan aktif dalam ibadat. Tujuan yang luhur menuntut suatu sikap yang khusus waktu bernyanyi dan bermusik. Bukan naskah yang membuat musik menjadi sakral, tetapi hati manusia yang diungkapkan dalam musik.
2.      Nyanyian Rohani
Nyanyian rohani berhubungan dengan agama Kristen, namun diciptakan untuk keperluan-keperluan keagamaan selain ibadat, misalnya sebagai lagu hiburan rohani atau lagu yang enak dinyanyikan dalam pertemuan atau bisa juga sebagai lagu pelajaran dalam sekolah Minggu.
Meskipun batasannya tidak begitu jelas, antara musik liturgi dan nyanyian rohani memiliki tujuan yang berbeda. Maka sebaiknya dihindari pemakaian istilah Musik Gereja dan dipakai Musik Liturgi dan Nyanyian Rohani. Bentuk musik vokal serta instrumental yang merupakan bagian dalam liturgi Kristiani itulah yang disebut musik liturgi Kristiani atau musik ibadat Kristiani.
Musik suci di dalam segi-seginya yang menyangkut pembaharuan liturgi, telah dipertimbangkan dengan seksama oleh Konsili Ekumenis Vatikan kedua. Konsili telah menjelaskan peranan musik di dalam upacara-upacara Ilahi, telah mengeluarkan prinsip-prinsip dan undang-undang mengenai hal ini di dalam Konstitusi tentang liturgi dan bahkan telah menyediakan satu bab khusus dari konstitusi itu untuk membahas persoalan musik.[9]
Di dalam liturgi, umat beriman menduduki peranan utama. Oleh sebab itu musik liturgi hendaknya mengabdi pada kepentingan umat dan senantiasa mendorong partisipasi umat secara aktif dalam perayaan liturgi. Hal ini tidak berarti bahwa musik liturgi semakin miskin sehubungan dengan sifat massal dari umat, sebaliknya harus semakin bermutu dan berkesan. Oleh karena itu potensi di kalangan umat perlu dilibatkan, dan inisiatif yang sudah ada perlu diperhatikan.[10]
Musik Liturgi Gereja pada setiap tempat yang berbeda mengalami inkulturasi dengan kebudayaan setempat. Sejak Konsili Vatikan II, dengan lantang dalam gereja Katolik bergema anjuran-anjuran agar gereja membuka diri dan menerima unsur-unsur kebudayaan setempat sejauh unsur-unsur kebudayaan itu tidak secara prinsipiil bertolak belakang dengan ajaran agama Katolik.[11] Keyakinan bahwa ada hubungan dekat antara agama dan kebudayaan telah mewajibkan gereja Katolik untuk setia mendengarkan bisikan kebudayaan. Kewajiban lainnya yang lebih luas adalah untuk merefleksikan dan merenungkan proses terbentuknya interaksi budaya manusia. Kewajiban tersebut merupakan tahap pertama dari proses inkulturasi. Proses inkulturasi ini dapat dilihat sebagai perjalanan dari kebudayaan yang satu menuju kebudayaan lainnya. Agama dan juga Kristianitas akhirnya adalah bagian dari kebudayaan manusia.[12] Tujuan inkulturasi liturgi adalah pengungkapan atau perayaan liturgi gereja dalam tata cara dan suasana yang serba selaras dengan cita rasa budaya umat yang beribadat. Dengan kata yang lebih sederhana, tujuan inkulturasi ialah agar umat yang mengikuti ibadat terpesona oleh lagu, doa, lambang atau hiasan, dan upacara, karena semua bagus menurut penilaian yang dipakai dalam hidup kebudayaan sehari-hari.
Dasar dari inkulturasi adalah adanya kepercayaan bahwa kebudayaan pun secara tidak langsung (lewat manusia) diciptakan oleh Tuhan, maka ia baik adanya. Dan kesadaran bahwa kebudayaan tidak sempurna karena ada juga kemungkinan manusia tersesat, (misalnya: Allah dipandang sebagai dewa yang tinggal dalam pohon, dalam rumah adat, yang menuntut sesaji, yang marah kalau suatu ketetapan-Nya tidak dipenuhi). Maka inkulturasi hanya mungkin melalui proses tobat (ada unsur kebudayaan yang harus ditinggalkan agar dapat berjumpa dengan Tuhan).[13]
Dirasakan dengan kecenderungan musik masyarakat masa kini yang makin sekularistis dianggap perlu petunjuk-petunjuk  yang telah digariskan dalam inkulturasi musik di dalam liturgi untuk membina musik liturgi yang berbobot. Dengan menyadari bahwa musik liturgi merupakan bagian fungsional dalam liturgi, maka gereja menganggap perlu diadakannya lembaga yang menangani masalah musik liturgi baik yang berskala internasional, nasional, maupun skala yang lebih kecil lagi.
Universa Laus adalah sebuah lembaga internasional untuk musik gereja. Didirikan pada tahun 1966 di Eropa atas inisiatif dari tokoh Gereja Katolik bersama Gereja Kristen lainnya untuk mempelajari dan membahas masalah musik dalam liturgi. Titik pangkal usaha ini terletak pada pembaharuan liturgi dari Konsili Vatikan II. Maka masalah historis, teologis, pastoral, serta teknis tentang musik dalam ibadat merupakan pokok dalam rapat kerja serta kongres yang diadakan oleh Universa Laus hampir setiap tahun. Tahun 1980 hasil kerja dari tahun-tahun yang lalu dirumuskan bersama dalam karya tulis sebagai pegangan untuk langkah berikutnya. Meskipun terdapat perbedaan di antara negara-negara dalam tradisi musik gereja dan kebudayaan musik, namun dirasa hakekat musik gereja itu sama.[14]
Indonesia mempunyai tradisi musik sendiri yang besar artinya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Maka sewajarnya musik liturgi Indonesia ditumbuhkembangkan melalui proses inkulturasi sehingga umat dibantu menemukan identitasnya sebagai umat yang beriman Indonesia dengan latar belakang budayanya yang khas. (bdk KL 119).[15] Agar kebudayaan dapat menjadi sumber inkulturasi musik liturgi maka musik tradisional harus hidup. Bagi musik tradisional yang hampir mati harus dihidupkan kembali sebagai musik adat profan sebagai tradisi yang khas yang merupakan lantai untuk perkembangan selanjutnya (inkulturasi).
Meskipun gereja bersifat universal, namun de facto uskup setempat bersama umatnyalah yang menghadirkan gereja secara nyata. Oleh karena itu bapak uskup bersama komisi liturginya bertanggung jawab atas kehidupan dan perkembangan musik liturgi di dalam wilayah keuskupan yang bersangkutan. Dalam hal ini kerjasama dengan keuskupan lain secara langsung maupun di bawah koordinasi Seksi Musik Komisi Liturgi KWI sangat dianjurkan. Begitu pula kerjasama dengan sanggar atau Pusat Musik Liturgi dalam keuskupan sendiri atau keuskupan lainnya.

B.     Rumusan Masalah

Dengan melihat latar belakang masalah yang penulis uraikan di atas, maka di dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu:
1.      Bagaimana pengaruh Konsili Vatikan II (Konstitusi Sacrosanctum Concilium) terhadap perkembangan Musik Liturgi di Indonesia ?
2.      Bagaimana proses terjadinya inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia ?
3.       Bagaimana wujud inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia ?

C.    Tujuan Penelitian

Di dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang ingin penulis capai, disesuaikan dengan latar belakang serta rumusan masalah yang sudah ada. Adapun tujuan tersebut diantaranya adalah:
1.      Untuk mengungkap pengaruh Konsili Vatikan II terhadap perkembangan Musik Liturgi di Indonesia.
2.      Untuk lebih memahami secara mendalam proses terjadinya inkulturasi musik liturgi di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui wujud dari inkulturasi Musik Liturgi  di Indonesia.
4.      Secara khusus tujuan penelitian ini bagi umat Islam adalah memperluas wacana dan pengetahuan tentang musik liturgi  untuk dijadikan bahan bagi usaha pengembangan khazanah musik Islami, seperti dibentuknya suatu badan khusus yang menangani pengembangan musik tersebut.

D.    Tinjauan Pustaka

Sebelum mengkaji pustaka-pustaka yang penulis pergunakan dalam penelitian, perlu penulis ungkapkan bahwa penelitian ini merupakan pengembangan dari berbagai penelitian dan penulisan tentang musik liturgi gereja sebagai bagian yang fungsional. Penulis berusaha mengungkapkan keadaan musik liturgi di Indonesia setelah Konsili Vatikan II yang mengalami inkulturasi kebudayaan dengan keanekaragamannya. Secara tidak langsung penulis juga mengungkapkan perbedaan musik liturgi sebelum dan sesudah Konsili Vatikan II khususnya di Indonesia.
Sebagai kajian pustaka bisa diungkapkan di sini, diantaranya: buku berjudul Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi oleh Karl-Edmund Prier SJ terbitan PML Yogyakarta, tahun 1987. Dalam buku ini Prier membahas struktur dari suatu ibadat, setiap bagian dari acara dalam suatu upacara ibadat mempunyai maksud tersendiri sehingga diperlukan nyanyian yang cocok. Misalnya, nyanyian yang cocok untuk pembukaan adalah nyanyian berbait.
Kemudian Directorium Tentang Pengembangan Musik Liturgi di Indonesia, buku terbitan Seksi Musik Komisi Liturgi KWI, Yogyakarta, 1989 ini membahas usaha pengembangan musik liturgi yang melibatkan Komisi-komisi Musik Liturgi. Instruksi Tentang Musik di dalam Liturgi terbitan Arnoldus, Ende, 1967 membicarakan keputusan konsili yang menyangkut pembaharuan dalam musik suci serta norma-norma pokok bagi pelaksanaan konstitusi tentang musik liturgi. Instruksi ini disusun oleh Gabriel Manek SVD. Karl-Edmund Prier SJ dalam buku yang diterbitkan PML Yogyakarta tahun 1986, Inkulturasi Nyanyian Liturgi berbicara masalah inkulturasi dan Indonesianisasi musik liturgi. Kemudian dalam Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Komentar dan Terjemahan) Terbitan PML Yogyakarta, tahun 1987, Prier mencoba untuk mengomentari dan menterjemahkan. Buku ini berisi pedoman untuk langkah berikutnya, bahwa pada hakekatnya musik gereja adalah sama meskipun terdapat perbedaan dalam tradisi musik gereja dan kebudayaan musik.
Kemudian buku Laporan/Rumusan Hasil Musyawarah Liturgi dan Musik Liturgi Keuskupan Agung Jakarta, buku ini khusus membahas inkulturasi musik liturgi di Keuskupan Agung Jakarta, diterbitkan di Jakarta, oleh Panitia Liturgi KAJ tahun 1983. Yang terakhir buku Inkulturasi Agama Katolik Dalam Kebudayaan Jawa oleh JB. Hari Kustanto SJ. Buku ini membahas mengenai kebudayaan Jawa yang mampu mempertahankan kepribadiannya serta usaha masuknya agama besar yakni Katolik melalui pintu masuk kebudayaan.
Selain dari pustaka-pustaka di atas berikut judul skripsi yang perlu penulis sebutkan berkenaan dengan masalah tersebut, diantaranya: M. Khanan Muchtar dalam skripsinya Konsepsi Katolik dan Protestan Tentang Liturgi. Ia berusaha membandingkan antara konsep liturgi dalam Katolik dan Protestan. Kemudian Inkulturasi Gereja Katolik Terhadap Aspek Mistik Jawa oleh Siti Romlah. Liturgi dalam Gereja Pantekosta oleh Siti Muslihah. Evayani Fadhillah dalam skripsinya Liturgi dalam Konsili Vatikan II. Dan yang terakhir Royani Wibowo dalam skripsi yang berjudul Iringan Karawitan dalam Gereja (Studi Terhadap Inkulturasi dalam Liturgi), skripsi ini membahas mengenai pengertian karawitan, komponen-komponennya serta karawitan di lingkungan gereja.


download contoh skripsi USHULUDDIN