EKSISTENSI KEBIJAKAN DAERAH YANG DEMOKRATIS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN YANG BERSIH BEBAS DARI KORUPSI KOLUSI DAN NEPOTISME
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Seiring dengan dilaksanakannya program otonomi daerah,
pada umumnya masyarakat mengharapkan adanya peningkatan kesejahteraan dalam
bentuk peningkatan mutu pelayanan masyarakat, partisipasi masyarakat yang lebih
luas dalam pengambilan kebijakan publik, yang sejauh ini hal tersebut kurang
mendapat perhatian dari pemerintahan pusat. Namun kenyataannya sejak
diterapkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah sejak Januari 2001, belum menunjukkan perkembangan yang
signifikan bagi pemenuhan harapan masyarakat tersebut.
Dalam era transisi desentralisasi kewenangan itu telah
melahirkan berbagai penyimpangan kekuasaan atau korupsi, kolusi dan nepotisine
(KKN) termasuk didalamnya bidang politik di daerah, KKN yang paling menonjol
pasca otonomi daerah antara lain semakin merebaknya kasus-kasus politik uang
dalam pemilihan kepala daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)
yang tidak memihak pada kesejahteraan rakyat banyak, penggemukan
instansi-instansi tertentu di daerah yang menimbulkan disalokasi anggaran, dan
meningkatkan pungutan-pungutan melalui peraturan-peraturan daerah (perda) yang
memberatkan masyarakat dan tidak kondusif bagi pengembangan dunia usaha di
daerah.
Berbagai pihak menyoroti realitas otonomi daerah yang
rawan terhadap terjadinya KKN tersebut, dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain :
(1) Program otonomi daerah hanya terbatas pada pelimpahan
wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah
pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat atau
tanpa partisipasi masyarakat secara luas. Dengan perkataan lain, program
otonomi daerah tidak diikuti dengan prograrn demokratisasi yang membuka peluang
keterlibatan masyarakat dalam pengambiian kebijakan uraum di daerah. Karenanya,
program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada para elit lokal
(daerah) baik elit eksekutif maupun elit legislatif untuk mengakses
sumber-sumber ekonomi daerah dan politik daerah, yang rawan terhadap KKN,
perbuatan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang dan atau perbuatan yang
rnelampui batas wewenang;
(2) Tidak adanya institusi
negara yang mampu mengontrol secara efektif
penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik bupati maupun Walikota tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan
bertanggungjawab kepada DPRD. Hubungan pemerintahan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah tidak lagi struktural, melainkan fungsional yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah.
penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik bupati maupun Walikota tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan
bertanggungjawab kepada DPRD. Hubungan pemerintahan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah tidak lagi struktural, melainkan fungsional yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah.
(3) Terjadi indikasi KKN yang cukup krusial antara pemerintah
daerah dan DPRD, sehingga kontrol terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintah
daerah sulit terlaksana, sementara kontrol dari kalangan
masyarakat masih sangat lemah.
Berkaitan dengan pelaksanaan otonomi
daerah, penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel,
merupakan isu yang sangat penting dan strategis. Hal tersebut sesungguhnya
merupakan konsekuensi logis otonomi daerah yang semestinya memungkinkan:
(1)
Semakin dekatnya pelayanan
pemerintahan daerah kepada masyarakat;
(2)
Penyelesaian masalah-masalah di
daerah menjadi lebih terfokus dan mandiri;
(3)
Partisipasi masyarakat menjadi
lebih luas dalam pembangunan daerah;
(4)
Masyarakat melakukan pengawasan
lebih intensif terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Keempat faktor tersebut hanya dapat
berlangsung dalam suatu pemerintahan yang demokratis dan akuntabel. Pelaksanaan
otonomi daerah tanpa diimbangi dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
demokratis dan akuntabel, pada hakekatnya otonomi daerah tersebut telah kehilangan
jati diri dan maknanya.
Pemerintahan daerah yang demokratis
dapat dikaji dari dua aspek, yakni aspek tataran proses maupun aspek tataran
substansinya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara
proses, apabila pemerintahan daerah yang bersangkutan mampu membuka ruang bagi
keterlibatan masyarakat dalam semua pembuatan maupun pengkritisan terhadap
sesuatu kebijakan daerah yang dilaksanakan. Penyelenggaraan pemerintahan daerah
dikatakan demokratis secara substansial apabila kebijakan-kebijakan daerah yang
dibuat oleh para penguasa daerah mencerminkan aspirasi masyarakat.
Sesuatu pemerintahan daerah dikatakan akuntabel, apabila
ia mampu menjalankan prosedur-prosedur yang
telah ada dan
dapat mepertanggungjawabkannya
kepada publik dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kebijakan-kebijakan daerah yang bertentangan dengan
aspirasi masyarakat maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
demikian pula dengan tidak adanya keterpaduan dalam mekanisme pembuatan
kebijakan daerah antara kepala daerah dengan DPRD, menimbulkan permasalahan di
berbagai daerah.
Dengan demikian tidak ada kejelasan mengenai produk hukum
daerah, yang dapat mendukung proses mengalirnya partisipasi masyarakat dalam
setiap proses pembuatan kebijakan daerah dan atau pengkritisan atas suatu
pelaksanaan setiap kebijakan daerah. Dengan perkataan lain tidak ada kejelasan
mengenai pranata hukum daerah yang mengatur mekanisme penyaluran aspirasi
masyarakat guna mewujudkan suatu pemerintahan daerah yang bersih bebas dari
KKN.
Sebagai ilustrasi pemerintahan Kota Yogyakarta secara
perposif dipilih sebagai lokasi penelitian hukum empiris, dengan pertimbangan
bahwa (pemerintahan Kota Yogyakarta merupakan salah satu pemerintahan daerah
yang mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan yang sejajar dengan pemerintahan
daerah lainnya, dalam jajaran dan sistem pemerintahan negara kesatuan Republik
Indonesia. Demikian pula secara perposif ilustrasi obyek kajian dibatasi khusus
eksistensi kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang
bersih bebas dari KKN.
2. Rumusan Masalah
Bertolak
dari paparan latar belakang masalah, dapat dirumuskan sebagai isu sentral dalam
penelitian ini yaitu : "ketidak jelasan eksistensi kebijakan daerah yang
demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme", yang kemudian diungkapkan dalam judul penelitian yaitu :
"EKSISTENSI KEBIJAKAN DAERAH YANG DEMOKRATIS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN
YANG BERSIH BEBAS DARI KORUPSI KOLUSI DAN NEPOTISME". Isu sentral tersebut
mengandung berbagai permasalahan, baik permasalahan hukum empiris maupun
permasalahan hukum normatif, baik permasalahan hukum normatif pada lapisan
dogmatik hukum maupun pada lapisan teori hukum.
Dengan
demikian dapatlah dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.
Permasalahan hukum empiris, bagaimanakah realisasi
pembuatan kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang
bersih bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
2. Permasalahan hukum normatif pada lapisan dogmatik hukum,
apakah dalam setiap pembuatan kebijakan daerah telah melibatkan partisipasi
masyarakat, demikian pula apakah produk-produk kebijakan daerah pasca UU No. 22
Tahun 1999 telah mencerminkan aspirasi masyarakat.
3.
Permasalahan hukum normatif pada lapisan teori hukum,
mengapa masyarakat perlu dilibatkan dalam setiap pembuatan dan evaluasi
kebijakan daerah.
3. Keaslian
Penelitian
Setelah
melakukan penelusuran pada berbagai referensi dan hasil penelitian dalam
berbagai media, baik cetak maupun elektronik, penelitian tentang eksistensi
kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas
dari korupsi, kolusi dan nepotisme, belum pernah dilakukan penelitian dan dalam
kesempatan ini peneliti berniat untuk melakukan penelitian terhadap
permasalahan tersebut. Dengan demikian penelitian ini adalah asli.
4. Tujuan
Penelitian
Tujuan
penelitian ini meliputi berbagai dimensi antara lain :
a. Tujuan
deskriptif, untuk mengetahui realisasi pembuatan dan atau evaluasi kebijakan
daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari
korupsi, kolusi dan nepotisme.
b. Tujuan
kreatif, untuk mengetahui ada tidaknya partisipasi masyarakat dalam setiap
pembuatan kebijakan daerah dan untuk mengetahui aspiratif tidaknya
produk-produk kebijakan daerah pasca UU No. 22 Tahun 1999.
c. Tujuan
inovatif, untuk mengetahui perlu tidaknya masyarakat dilibatkan dalam setiap
pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah.
5. Manfaat
Penelitian
Dari
hasil penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat, baik untuk
kepentingan akademis maupun untuk kepentingan praktis,
a. Manfaat akademis
Dari
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan pengembangan ilmu hukum pada khususnya.
b. Manfaat praktis
Dari
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan
wacana bagi para elit eksekuttf dan legislatff dalam pembuatan dan evaluasi
kebijakan daerah, serta bagi masyarakat luas agar menyadari akan hak dan
kewajibannya untuk berperan serta aktif dalam setiap pembuatan dan evaluasi
atas kebijakan-kebijakan daerah.
download contoh skripsi HUKUM
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar